Kamis pagi, 27 April 2000, dua F-5E Tiger TNI-AU segera mengudara setelah mendapat kode “scramble” dari menara pengawas. Dengan cepat kedua jet tempur itu melejit menuju area di sekitar pulau Roti, Timor Barat. Tak berapa lama, pada ketinggian 29 ribu kaki, mereka menemukan apa yang dicari, satu gugus terbang yang terdiri dari lima pesawat: Satu pesawat tanker udara, diikuti empat F/A-18 Hornett di belakangnya, milik angkatan udara Australia (RAAF) dari Skadron 75. Itu diketahui dari identitas di ekor pesawat.
Gugus terbang itu ditangkap satuan radar sejak berjarak 120 mil laut dari Kupang. Tak ada keterangan apapun mengenai gugus terbang itu, tak juga ada ijin melintas wilayah udara Indonesia yang diterima pihak Pangkalan Udara El Tari, Kupang. Karenanya, gugus terbang itu dianggap blackflight, penerbangan tak dikenal, dan harus dicegat. Untuk itulah dua jet tempur berjuluk “Tiger” ini diterbangkan.
Suasana sempat tegang, karena pilot Tiger tak bisa berkomunikasi lewat radio dengan pilot Hornett. Bukan tak mungkin itu akan memicu konflik. Kalau terpaksa harus duel, bagaimana jadinya dua Tiger yang kalah jumlah, harus menghadapi empat Hornett RAAF yang lebih canggih. Pada saat itu, kedua pilot Tiger TNI-AU mencoba mendekati Hornett sampai kontak visual bisa dilakukan.
Ketika itulah, pilot-pilot F-5E melihat pilot Hornett memberi isyarat mengangkat tangan, tanda mereka tak bersenjata. Dengan bahasa tarzan juga, pimpinan penerbangan Hornett, yang diketahui berangkat dari Lanud Tindall, Australia, memberi tahu mereka sudah mendapat clearance untuk lewat wilayah udara Indonesia. Tujuannya adalah Singapura. Suasana pun mencair, kedua belah pihak saling memberi hormat. Sesuai aturan internasional, kedua Tiger tetap mengawal gugus terbang RAAF itu, hingga masuk jalur internasional, menuju Paya Lebar, Singapura.
Macan Kecil
Dua F-5E Tiger II yang menyergap rombongan Hornett tadi berasal dari Sakdron Udara 14, yang berpangkalan di Lanud Iswahyudi, Madiun. Mereka saat itu tengah ditempatkan di Kupang, untuk mendukung tugas patroli dan pengamanan wilayah udara Indonesia di kawasan Timur. Skadron Udara 14 mendapat 12 unit F-5E Tiger II yang berkursi tunggal, dan 4 F-5F berkursi ganda pada tahun 1980 silam, seiring dengan revitalisasi kekuatan udara Indonesia, yang sempat gembos pasca berakhirnya hubungan mesra dengan Soviet.
Jet-jet tempur berhidung lancip ini, sebenarnya lumayan populer dan banyak digunakan di negara-negara Eropa, Timur Tengah, dan Asia. Terutama negara-negara sahabat AS. Karena memang, pesawat ini dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan pesawat tempur negara-negara sekutu AS dalam NATO dan SEATO. Di tanah kelahirannya sendiri, jet buatan pabrikan Northrop ini malah tak begitu banyak digunakan.
Northrop mendesain pesawat ini berdasarkan hasil studi kebutuhan militer di Eropa dan Asia. Dari studi itu, paling tidak adasejumlah faktor yang harus dipenuhi. Antara lain, pesawat tersebut harus cukup canggih dan tak ketinggalan jaman. Artinya, jet perang itu harus bisa terbang supersonik. Harus murah, dengan menimbang kemampuan keuangan negara-negara (calon) pemakai, yang sebagian besar perekonomiannya belum kuat. Mesti mudah pula dioperasikan dan mudah dirawat.
Pada 1955, Northrop mengajukan konsep jet tempur ringan modern ke pihak Angkatan Udara AS (USAF). Penempur supersonik itu, didesain sebagai jet tempur untuk serang darat (air to ground role), sebagai bagian dari misi penyerbuan. Murah harganya,mudah pengoperasiannya, mampu take-off dan landing di landasan pendek, serta mudah perawatan. Tapi USAF menolak proposal itu. USAF tak butuh burung besi seperti itu.
Tujuh tahun kemudian, tahun 1962, jet tempur ringan ini barulah mendapat tempat. Departemen Pertahanan AS di bawah pemerintahan Presiden Kennedy, memilih pesawat ini untuk program MAP (Military Assistance Program), program bantuan militer AS kepada sekutu-sekutunya di NATO dan SEATO. Prototipe berkode N-156, yang terbang pertama kali pada July 1959 itu, mulai diproduksi pada tahun 1963. Northrop memberi nama penempur mungil yang lincah ini F-5A Freedom Fighter, si Pejuang Kebebasan. Versi tempat duduk ganda, yang berfungsi sebagai pesawat latih, diberi kode F-5B.
Bagian badan (fuselage) pesawat perang ini langsing, dengan hidung yang runcing panjang. Mirip dengan ikan todak. Bentang sayapnya yang pendek, nampak seperti tidak proporsional dengan bodynya yang panjang singset seperti itu. Namun jangan tanya soal kemampuan. Freedom Fighter bisa melejit dengan kecepatan 1,4 Mach di ketinggian 36 ribu kaki, berkat dorongan sepasang mesin J85-GE-13 Turbo Jet, buatan General Electric, mesin kecil berdaya dorong besar. Mampu mencapai ketinggian terbang 50.500 kaki. Mampu menjangkau jarak 1.387 mil dengan tanki penuh, sementara radius tempur dengan perlengkapan penuh, mencapai 195 mil. Atau dengan tanki penuh plus dua bom, mencapai 558 mil.
Jet supersonik mungil ini mampu bermanuver dengan lincah, bisa menggendong dua rudal udara ke udara AIM-9 Sidewinder di ujung sayapnya (wingtip). Lima cantelan di sayap dan badan, mampu menggendong beban 6200 pounds. Bisa berupa tangki cadangan, bom, misil udara ke darat, serta 20 roket. Di moncongnya yang mancung, dipasangi sepasang kanon 20 mm jenis M39 dengan 280 putaran. Tapi sebagai pesawat yang didesain untuk serang darat, kemampuan tarung udaranya (air to air) memang terbatas.
Kehandalan jet yang sejatinya untuk negara-negara kelas dua itu, tak ayal menarik perhatian USAF juga. Pada 1965 mereka meminjam 12 unit Pejuang Kebebasan dari stok MAP, untuk uji coba di palagan Vietnam, yang menjadi kancah jet-jet buatan Rusia, semacam Mig-15, Mig-17, dan yang paling gres, Mig-21 unjuk kebolehan. Program itu diberi kode nama “Skoshi Tiger”, alias “Little Tiger” (macan kecil). Sejak itulah, F-5 mendapat julukan baru, Tiger, alias si macan. Kelak, nama itulah yang terus melekat, menggeser julukan Pejuang Kebebasan.
Berbarengan dengan produksi F-5A/B untuk negara-negara pemesan, Northrop melakukan proyek peningkatan kemampuan si Macan Kecil. Airframe dimodifikasi, sehingga bagian fuselage menjadi lebih besar, sehingga tankinya juga bisa diperbesar. Dengan demikian, daya angkut bahan bakar juga lebih banyak, bisa terbang lebih lama dan lebih jauh. Dengan tanki serta dua rudal side wider di wingtip-nya, punya radius tempur 656 mil. Jarak jangkau maksimalnya menjadi 1.543 mil.
Bagian sayap juga dipermak, menjadi lebih besar, dan ditambahi sirip sayap (flap) yang bisa diatur dalam empat moda, yang membuatnya punya sudut serang (angle of attack) lebih baik, lebih lincah bermanuver, terutama pada kecepatan tinggi. Sepasang mesinnya ikut di-upgrade, dengan J85-GE-21 Turbojet yang lebih digdaya. Ini membuat Tiger baru ini mampu melesat dengan kecepatan maksimum 1,6 mach, atau 1,5 mach dengan ujung sayap (wingtip) dicanteli rudal AIM-9 Side Winder. Terbangnya juga lebih tinggi, mencapai 51.800 kaki. Sebagai perbandingan, jet baru yang diberi kode F-5A-21 ini punya kemampuan menanjak meningkat 23% lebih baik dibanding Tiger lama, kemampuan beloknya meningkat 17%, radius putar meningkat 39%.
Tak hanya airframe, jeroannya juga di-upgrade. Sisi avionik Hoffman Electronics AN/ARN-56 TACAN, Magnavox AN/ARC-50 UHF, AN/APX-72 IFF/SIF, automatic UHF DF, AN/AIC-18 intercom, SST-181 X-band Skyspot radar transponder, dan solid-state attitude and heading reference system terbaru. Perangkat radar dari Emerson Electric AN/APQ-159 berkemampuan mencium jejak musuh dalam jarak23 mil, juga menambah kesaktian Tiger baru ini. Untuk fire control, dipasanglah jendela bidik optikal AN/ASG-31 yang terintegrasi dengan radar penjejak.
Hasil pengembangan ini adalah, Tiger baru yang lebih sakti untuk tarung udara. Cocok digunakan untuk misi meraih keunggulan udara (air superiority). Northrop membaptis jet baru ini dengan kode F-5E Tiger II. Versi tempatduduk gandanya diberi kode F-5F. Pesawat inilah yang kemudian memenangkan tender dari USAF untuk program IFA (International Fighter Aircraft), pada tahun 1970. Mengalahkan pesaingnya dari Ling-Temco-Vought dengan V-1000, yang merupakan pengembangan dari F-8 Crusade, Lockeed dengan CL-1200 Lancer, yang dikembangkan dari F-104 Starfighter, serta McDonnel Douglas, yang mengajukan versi modifikasi Phantom. Proyek ini diadakan untuk mengantisipasi ancaman –pada era perang dingin—jet musuh, yang dalam andalan Soviet, Mig-21 Fishbed. Tiger II dianggap cocok untuk meladeni Fishbed, yang ketika itu berstatus jet tempur paling mutakhir milik blok Timur.
Seiring dengan mulai produksinya Tiger II, maka era Tiger I, si Macan Kecil pun berakhir sudah. Produksinya dihentikan pada tahun 1972. Sesuai tujuan penciptaannya, Tiger II mulai memperkuat kekuatan udara negara-negara sekutu AS. Beberapa negara memesan Tiger II dengan tambahan atau perubahan peralatan. Dan memang Northrop menyediakan opsi bagi pemesannya untuk membuat F-5E sesuai keinginan negara pemesan. Misalnya perangkat radio dan avionik yang lebih modern. Bisa pula dipesan dengan kelengkapan chaff/flare (pengalih rudal). Beberapa versi, dilengkapi dengan kemampuan pengisian BBM di udara, seperti F-5E yang dimiliki angkatan udara Singapura.
Bahkan, beberapa negara pemesan, seperti Iran dan Arab Saudi, menginginkan F-5E mereka didesain punya peran utama sebagai jet serang darat. Untuk keperluan itu, dibuat varian F-5E yang dilengkapi sistem LATAR (laser-augmented target acquisition and recognation) –sistem laser pemandu tembakan ke sasaran darat. Varian ini juga dibekali kemampuan menggendong AGM-65 Maverick, rudal udara ke darat.
Sejumlah F-5E juga dibuat di beberapa negara berdasarkan lisensi dari Northrop. Swiss memproduksi 90 unit, Korea Selatan membuat 68 unit, dan Taiwan memproduksi 380 unit. Northrop sendiri memproduksi 792 F-5E (kursi tunggal), 140 F-5F (kursi ganda), dan 12 RF-5E (versi pengintaian udara/recon).
Indonesia mendatangkan 12 F-5E dan 4 F-5F versi standar pada tahun 1980 silam, lewat program Foreign Military Sales (FMS). Penempur yang masih gres itu datang dari pabrik Northrop dalam bentuk terurai, dalam dua tahap. Tahap pertama pada bulan April dan tahap kedua pada bulan Juli. Perakitan dilakukan di hanggar Lanud Iswahyudi, Madiun, yang nantinya jadi markas kawanan Macan udara itu. Tiger II resmi digunakan pada Mei 1980, masuk Skadron Udara 14 Buru Sergap, di bawah Wing Operasional 300, menggantikan F-86 Avon Sabre, yang sudah uzur. Peresmiannya, ketika itu, dilakukan oleh Menhamkan Pangab Jenderal M. Yusuf.
Upgradable
Saat ini, banyak Tiger II yang sudah pensiun dari operasional. Namun, tetap banyak juga yang masih membelah langit. Maklum, meski sudah terbilang “tua”, jet tempur generasi ketiga ini biar bagaimanapun masih bisa diandalkan sebagai alat penjaga kedaulatan langit. Apalagi bila kemampuannya ditingkatkan (up-grade), serta peralatannya dimodernisasi. Seperti yang dilakukan Singapura, dengan memodernisasi dan mendesain ulang armada F-5E milik mereka, dengan radar baru FIAR Grifo-FX Band, buatan Galileo Avionica. Kokpit didesain ulang, menjadi lebih modern, dengan display multi fungsi, serta menambah kemampuan untuk menembakkan rudal udara ke udara AIM-120 AMRAAM dan Rafael Phyton, jenis rudal yang masuk kategori BVR (beyond visual range).
Thailand juga memodernisasi sejumlah F-5E mereka, yang dilakukan di Israel, sehingga bisa menggendong rudal Phyton III dan IV, diintegrasikan dengan helm DASH, sehingga pilotnya bisa mengunci sasaran hanya dengan menoleh ke arah sasaran. Upgrade yang dikerjakan oleh Israel ini, menghasilkan varian yang diberi nama F-5T Tigris. Varian ini tak memiliki kemampuan menembak misil BVR.
Indonesia juga sebenarnya tak ketinggalan, dengan melakukan upgrade pada armada Tiger II Skadron 14 lewat program MACAN (Modernize of Avionics Capabilities for Armament & Navigation), yang dikerjakan perusahaan Belgia SABCA. Program yang dilakukan pada tahun 1995 ini, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan elektronik dan persenjataan, agar setidaknya kemampuan F-5E Tiger II bisa setara dengan kemampuan F-16 Fighting Falcon, jet tempur generasi empat yang masuk kekuatan udara Indonesia pada tahun 1989 silam.
Upgrade itu meliputi pemasangan GEC-Marconi Avionics HUD/WAC, dan Sky Guardian RWR. Sistem komputerisasi juga ditingkatkan dengan sistem air data computer mutakhir. Peningkatan dilakukan juga pada stores management system, HOTAS control, dan MIL-STD 155eB databus. Radar APG-69 (V) 3 yang sudah lawas, diganti dengan radar (V) 5 standar. Makanya, meski kalah mutakhir dari Hornett –yang notabene perancangannya banyak mengadopsi platform dari F-5E—Macan-macan udara dari Skadron 14 masih sanggup mengejar, dan menggertak Hornett Australia dalam insiden Pulau Roti. Macan Skadron 14 mampu membuktikan fungsinya sebagai skadron buru sergap.
Namun sekarang, dari 16 unit F-5E/F yang ada, lebih dari separuhnya tak bisa menjelajah langit, alias tak siap operasional. Seretnya suku cadang, minimnya anggaran (perawatan), ditambah dampak embargo senjata yang pernah diterapkan AS, membuat Macan-macan udara kita terpaksa lebih banyak ngendon di hanggarnya. Bahkan satu Tiger II, pernah bertahun-tahun tersandera di Amerika, dan baru bisa diambil pulang ketika embargo mulai dicabut. Pesawat itu tadinya dalam program perbaikan. Namun dengan adanya embargo senjata, AS tak mengijinkan pesawat itu diserahkan kembali ke Indonesia.
Kondisi ini memang sungguh memprihatikan. Mengingat kekuatan penuh macan-macan angkasa itu sebenarnya masih sangat diperlukan untuk menjaga kedaulatan langit Indonesia, yang sangat luas itu. (Aulia Hs)
Spesifikasi:
Awak: 1 (F-5E), 2 (F-5F)
Panjang: 47 ft 4¾ in (14.45 m)
Bentang sayap: 26 ft 8 in (8.13 m)
Luas sayap: 186 ft² (17.28 m²)
Tinggi: 13 ft 4½ in (4.08 m)
Berat Kosong: 9,558 lb (4,349 kg)
Max takeoff weight: 24,664 lb (11,187 kg)
Mesin: 2× General Electric J85-GE-21B turbojet
Daya dorong: 3,500 lbf (15.5 kN) per mesin.
Daya dorong dengan afterburner: Masing-masing 5,000 lbf (22.2 kN)
Kapasitas tangki internal: 677 US gal (2,563 L)
Kapasitas tangki eksternal: 275 US gal (1,040 L) per tanki, mampu membawa hingga 3 tanki
Performance
Kecepatan maksimum: 917 kn (1,060 mph, 1,700 km/jam, mach 1.6)
Jangkauan: 760 nmi (870 mi, 1,405 km)
Jangkauan maksimum: 2,010 nmi (2,310 mi, 3,700 km[40])
Ketinggian maksimum: 51,800 ft (15,800 m)
Kecepatan menanjak: 34,400 ft/min (175 m/detik)
Persenjataan:
Gun: 2× 20 mm (0.787 in) Pontiac M39A2 cannons in the nose, 280 rounds/gun
Hardpoints: 7 total (3× wet): 2× wing-tip AAM launch rails, 4× under-wing & 1× under-fuselage pylon stations holding up to 7,000 lb (3,200 kg) of payload.
Rockets:
2× LAU-61/LAU-68 rocket pods (each with 19× /7× Hydra 70 mm rockets, respectively); atau
2× LAU-5003 rocket pods (each with 19× CRV7 70 mm rockets); atau
2× LAU-10 rocket pods (each with 4× Zuni 127 mm rockets); atau
2× Matra rocket pods (each with 18× SNEB 68 mm rockets)
Rudal:
Air to Air:
4× AIM-9 Sidewinders atau
4× AIM-120 AMRAAMs
Udara ke darat:
2× AGM-65 Mavericks
Bombs:
Aneka bom udara-darat semacam bom tanpa pemandu Mark 80 series (termasuk 3 kg and 14 kg practice bombs), CBU-24/49/52/58 cluster bomb munitions, napalm bomb canisters dan M129 Leaflet bom.
Avionics
AN/APQ-153 radar pada F-5E generasi awal
AN/APQ-159 radar pada F-5E generasi akhir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar